Sertifikasi Guru antara Mutu dan Kegalauan

Apakah guru bersertifikasi telah menunjukkan kinerja yang baik dalam meningkatkan mutu pendidikan? Benarkah sertifikasi guru telah membunuh ketulusan pendidik? Benarkah tunjangan sertifikasi guru bukanlah hak guru yang bersertifikat? Benarkah jumlah mengajar minimal 24 jam itu akan meningkatkan mutu pendidikan? Tidak percayakah pemerintah dengan sertifikat yang telah diperoleh guru atau pemerintah telah meragukan produk lembaga yang mengeluarkan sertifikat itu? Atau pemerintah tidak rela menyejahterakan guru? Inilah potret kegalauan dunia pendidikan di tengah keinginan pemerintah mewujudkan mutu pendidikan.

Kita boleh berharap hujan turun dari langit, namun air di tempayan jangan ditumpahkan. Kita boleh berharap mutu pendidikan, namun indikator guru professional lainnya jangan sampai terabaikan. Bila indikator guru bersertifikasi terabaikan akan menimbulkan kegalauan. Kata galau pada judul ini merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “
sibuk beramai-ramai dan kacau tidak karuan”. Tunjangan guru bersertifikasi diberikan kepada guru yang prfofessional. Hal ini sesuai amanat UU Nomor 14 Tahun 2004 tentang Guru dan Dosen agar memberikan layanan maksimal kepada peserta didiknya demi mencerdaskan anak bangsa dan membentuk karakter peradaban bangsa.


Telah terjadi proses pengkerdilan parameter penetapan guru sertifikasi. Wujudnya terlihat pada ketetapan pemerintah membayarkan tunjangan guru bersertifikat harus mengajar minimal 24 jam tidak memperoleh tunjangan itu. Padahal, mutu pendidikan bukanlah ditentukan oleh banyaknya jam mengajar, tetapi mutu guru professional ditentukan oleh kompetensi pedagogik, kompetensi professional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Indikator ini adalah dasar kinerja guru bersertifikasi sesungguhnya.


Guru yang bersertifikasi akan melakukan tugas dan fungsi guru dengan baik. Jika guru itu masih seperti yang dulu juga, kembali ke selera asalnya, baik dari metode, pola berpikirnya sampai pada pengembangan dirinya berarti alat ukurnya tidak tepat sasaran. Penyanyi yang baik akan ikut irama gendang. Gendang jumlah jam pun diburu guru kesana kemari. Guru menjadi kasak kusuk dari sekolah yang satu ke sekolah yang lain dan waktunya pun lebih banyak habis di jalan. Pokoknya mereka mengajar tidak kurang dari 24 jam. Bagi yang tidak mau mencari jam ke luar atau tidak ada jam mengajar yang sejenis, perilaku yang tepat adalah SABAR dan mengurut dada, dan dilarang CEMBURU dengan sesama. Berkualitas atau tidak guru yang bersangkutan belum dikaji karena tidak ada aturannya.


Selain mengajar, peserta didik butuh pembinaan dari gurunya. Biasanya pembinaan kompetensi peserta didik itu di lakukan di luar jam pelajaran. Pembianaan di luar jam mengajar ini jauh lebih berat dan menantang. Katakanlah perihal dosis mendidik, melatih, dan membiasakan peserta didik lebih banyak diarahkan pada kecerdasan, bukan pada ranah kepintaran. Sebaliknya, pada ranah mengajar mengandalkan intelegensi. Pintar hanya cenderung melibatkan otak, sedangkan peserta didik yang cerdas memiliki naluri menyesuaikan diri mengaplikasikan ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif.


Guru pembina itu juga harus bersabar karena ini bukan jam mengajar. Walaupun guru memberikan alasan: ada silabusnya, jelas programnya dan banyak siswa yang mengikutinya serta jelas pula pembinaannya. Tidak ada di dalam aturan, ya memang kaku, tidak disetarakan dengan satu, dua, tiga apalagi empat jam pelajaran.


Pembinaan peserta didik di luar jam mengajar wajib telah menjadikan peserta didik hebat, dewasa, dan tahu makna hidup. Kita bangga dengan prestasi dan talenta anak bangsa. Kita senang adanya peserta didik menjadi pemenang berbagai lomba olimpiade. Kita terperangah dengan peserta didik yang memiliki talenta seni dan olah raga. Kita merasa terharu dengan peserta didik yang beretika, memiliki naluri kemanusiaan, dan berhati mulia di bawah bingkai ilmu dan agama. Semua ini adalah hasil proses pembinaan di luar jam mengajar minimal 24 jam.


Standar pendidik itu jelas dan terukur dengan alat ukur yang tepat pula. Standard guru itu bersentuhan dengan standard pendidikan lainnya. Bukankah Permendiknas Nomor 34 Tahun 2006, Bab 5 Pasal 1 Ayat 1, menyatakan sekolah sangat perlu melakukan pembinaan berkelanjutan meliputi sepuluh bidang pembinaan organisasi OSIS di sekolah. Mulai dari bidang ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa sampai kepada pembinaan bidang computer dan informatika. Semua ini terlaksana berkat binaan guru. Sekarang guru penanggung jawabnya telah galau.
Untuk mewujudkan mutu pendidikan, pemerintah terkesan meragukan produk yang melahirkan guru. Setelah guru diangkat sesuai ijazah dan ber-Akta IV, lalu diberi tunjangan. Saat ini, Akta IV itu seolah tidak “Mangkus” lagi dan menggantinya dengan sertifikat guru berprestasi. Sertifikat inipun akan “batal atau ditangguhkan” karena jumlah jam. Sebut saja kurang lengkap. Lemahkah legalitas lembaga yang mengeluarkan sertifikat itu? Kurang persyaratannya atau merupakan suatu kegalauan?


Guru yang tidak menerima sertifikasi pun mulai berkata, “Pemerintah tidak ikhlas memberi tunjangan kepada guru”. Bahkan ada pula yang membandingkan dengan anggota dewan yang terhormat yang begitu mudah untuk meloloskan anggarannya sendiri dengan berbagai alasan. Guru boleh berharap agar kacang tidak lupa kulitnya. Mereka jadi pandai karena siapa dan mereka jadi pintar karena siapa, begitu bunyi lirik lagu. Persoalan ini sampai kini masih galau.
Dikembalikannya dana sertifikasi guru ke pusat merupakan potret ketakberdayaan Pemerintah daerah dalam mencarikan solusi permasalahan guru. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah member kewenangan meningkatkan mutu pendidikan. Daerah diharapkan lebih terpacu mengembangkan mutu sumber daya manusianya agar mampu bersaing mewujudkan pendidikan yang bermutu. Dengan demikian, pelaksanaan pendidikan sepenuhnya dilakukan oleh daerah kabupaten dan kota.


UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 41, butir 3, menyatakan pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidikan dan tenaga kependidikan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Jika pemerintah daerah keliru mengambil kebijakan, akan menambah rumit penyelesaian masalah ini. Kebijakan untuk memenuhi kekurangan jam mengajar guru SLTA sederajat dibolehkan menambah jam mengajar ke SLTP atau ke SD sederajat, inipun suatu hal yang patut ditinjau ulang karena tingkatannya tidak sama.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 14 tegas menyatakan perbedaan jenjang pendidikan formal itu. Dinyatakan SD dan SLTP sederajat adalah pendidikan dasar, SLTA sederajat adalah pendidikan menengah, dan perguruan tinggi adalah pendidikan tinggi (baca: pasal 17-19). Sekiranya kebijakan guru pendidikan menengah boleh menambah jam mengajar ke Dikdas (Pendidikan Dasar) apa bedanya dengan guru SLTA yang mengajar di Perguruan Tinggi. Prinsipnya adalah sama-sama menjadi abdi Negara, mencerdaskan anak bangsa. Boleh jadi ini sebuah kegalauan.
Solusi yang ditawarkan adalah tinjau kembali ketepatan indikator guru professional. Berlakukan sepenuhnya manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS), hingga bermuara kepada keprofessional guru yang jelas dan terukur SDM-nya di bawah sistem kendali inspektorat. Jika KTSP telah ditandatangani kepala sekolah, disahkan kepala dinas pendidikan kota dan dilegalisasi kepala dinas provinsi, berarti KTSP itu telah dapat dijadikan payung hukum, termasuk dalam hal menentukan jumlah jam mengajar guru sesuai kebutuhan sekolah.

Di tengah kegalauan itu, organisasi PGRI patut ambil bagian. Bukankah di dalam AD/ART PGRI ada kewajiban dan hak anggotanya. Orang yang baik adalah orang yang mau melaksanakan kewajibannya dan mendapatkan haknya. Orang yang melaksanakan kewajiban saja, tetapi tidak mendapatkan haknya itulah orang yang tertindas.

0 Response to "Sertifikasi Guru antara Mutu dan Kegalauan "

Posting Komentar