Kita boleh berharap hujan turun dari langit, namun air di tempayan jangan ditumpahkan. Kita boleh berharap mutu pendidikan, namun indikator guru professional lainnya jangan sampai terabaikan. Bila indikator guru bersertifikasi terabaikan akan menimbulkan kegalauan. Kata galau pada judul ini merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “sibuk beramai-ramai dan kacau tidak karuan”. Tunjangan guru bersertifikasi diberikan kepada guru yang prfofessional. Hal ini sesuai amanat UU Nomor 14 Tahun 2004 tentang Guru dan Dosen agar memberikan layanan maksimal kepada peserta didiknya demi mencerdaskan anak bangsa dan membentuk karakter peradaban bangsa.
Telah terjadi proses
pengkerdilan parameter penetapan guru sertifikasi. Wujudnya terlihat pada
ketetapan pemerintah membayarkan tunjangan guru bersertifikat harus mengajar
minimal 24 jam tidak memperoleh tunjangan itu. Padahal, mutu pendidikan
bukanlah ditentukan oleh banyaknya jam mengajar, tetapi mutu guru professional
ditentukan oleh kompetensi pedagogik, kompetensi professional, kompetensi
sosial, dan kompetensi kepribadian. Indikator ini adalah dasar kinerja guru
bersertifikasi sesungguhnya.
Guru yang bersertifikasi
akan melakukan tugas dan fungsi guru dengan baik. Jika guru itu masih seperti
yang dulu juga, kembali ke selera asalnya, baik dari metode, pola berpikirnya
sampai pada pengembangan dirinya berarti alat ukurnya tidak tepat sasaran.
Penyanyi yang baik akan ikut irama gendang. Gendang jumlah jam pun diburu guru
kesana kemari. Guru menjadi kasak kusuk dari sekolah yang satu ke sekolah yang
lain dan waktunya pun lebih banyak habis di jalan. Pokoknya mereka mengajar
tidak kurang dari 24 jam. Bagi yang tidak mau mencari jam ke luar atau tidak
ada jam mengajar yang sejenis, perilaku yang tepat adalah SABAR dan mengurut dada, dan
dilarang CEMBURU dengan sesama.
Berkualitas atau tidak guru yang bersangkutan belum dikaji karena tidak ada
aturannya.
Selain mengajar,
peserta didik butuh pembinaan dari gurunya. Biasanya pembinaan kompetensi
peserta didik itu di lakukan di luar jam pelajaran. Pembianaan di luar jam
mengajar ini jauh lebih berat dan menantang. Katakanlah perihal dosis mendidik,
melatih, dan membiasakan peserta didik lebih banyak diarahkan pada kecerdasan,
bukan pada ranah kepintaran. Sebaliknya, pada ranah mengajar mengandalkan
intelegensi. Pintar hanya cenderung melibatkan otak, sedangkan peserta didik
yang cerdas memiliki naluri menyesuaikan diri mengaplikasikan ranah kognitif,
psikomotorik, dan afektif.
Guru pembina itu juga
harus bersabar karena ini bukan jam mengajar. Walaupun guru memberikan alasan:
ada silabusnya, jelas programnya dan banyak siswa yang mengikutinya serta jelas
pula pembinaannya. Tidak ada di dalam aturan, ya memang kaku, tidak disetarakan
dengan satu, dua, tiga apalagi empat jam pelajaran.
Pembinaan peserta
didik di luar jam mengajar wajib telah menjadikan peserta didik hebat, dewasa,
dan tahu makna hidup. Kita bangga dengan prestasi dan talenta anak bangsa. Kita
senang adanya peserta didik menjadi pemenang berbagai lomba olimpiade. Kita
terperangah dengan peserta didik yang memiliki talenta seni dan olah raga. Kita
merasa terharu dengan peserta didik yang beretika, memiliki naluri kemanusiaan,
dan berhati mulia di bawah bingkai ilmu dan agama. Semua ini adalah hasil
proses pembinaan di luar jam mengajar minimal 24 jam.
Standar pendidik itu
jelas dan terukur dengan alat ukur yang tepat pula. Standard guru itu
bersentuhan dengan standard pendidikan lainnya. Bukankah Permendiknas Nomor 34
Tahun 2006, Bab 5 Pasal 1 Ayat 1, menyatakan sekolah sangat perlu melakukan
pembinaan berkelanjutan meliputi sepuluh bidang pembinaan organisasi OSIS di
sekolah. Mulai dari bidang ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa sampai kepada
pembinaan bidang computer dan informatika. Semua ini terlaksana berkat binaan
guru. Sekarang guru penanggung jawabnya telah galau.
Untuk mewujudkan mutu
pendidikan, pemerintah terkesan meragukan produk yang melahirkan guru. Setelah
guru diangkat sesuai ijazah dan ber-Akta IV, lalu diberi tunjangan. Saat ini,
Akta IV itu seolah tidak “Mangkus” lagi dan menggantinya dengan sertifikat guru
berprestasi. Sertifikat inipun akan “batal atau ditangguhkan” karena jumlah
jam. Sebut saja kurang lengkap. Lemahkah legalitas lembaga yang mengeluarkan
sertifikat itu? Kurang persyaratannya atau merupakan suatu kegalauan?
Guru yang tidak
menerima sertifikasi pun mulai berkata, “Pemerintah tidak ikhlas memberi
tunjangan kepada guru”. Bahkan ada pula yang membandingkan dengan anggota dewan
yang terhormat yang begitu mudah untuk meloloskan anggarannya sendiri dengan
berbagai alasan. Guru boleh berharap agar kacang tidak lupa kulitnya. Mereka
jadi pandai karena siapa dan mereka jadi pintar karena siapa, begitu bunyi
lirik lagu. Persoalan ini sampai kini masih galau.
Dikembalikannya dana
sertifikasi guru ke pusat merupakan potret ketakberdayaan Pemerintah daerah
dalam mencarikan solusi permasalahan guru. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah member kewenangan meningkatkan mutu pendidikan. Daerah
diharapkan lebih terpacu mengembangkan mutu sumber daya manusianya agar mampu
bersaing mewujudkan pendidikan yang bermutu. Dengan demikian, pelaksanaan
pendidikan sepenuhnya dilakukan oleh daerah kabupaten dan kota.
UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas pasal 41, butir 3, menyatakan pemerintah dan pemerintah
daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidikan dan tenaga
kependidikan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Jika
pemerintah daerah keliru mengambil kebijakan, akan menambah rumit penyelesaian
masalah ini. Kebijakan untuk memenuhi kekurangan jam mengajar guru SLTA sederajat
dibolehkan menambah jam mengajar ke SLTP atau ke SD sederajat, inipun suatu hal
yang patut ditinjau ulang karena tingkatannya tidak sama.
UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas pasal 14 tegas menyatakan perbedaan jenjang pendidikan formal
itu. Dinyatakan SD dan SLTP sederajat adalah pendidikan dasar, SLTA sederajat
adalah pendidikan menengah, dan perguruan tinggi adalah pendidikan tinggi
(baca: pasal 17-19). Sekiranya kebijakan guru pendidikan menengah boleh
menambah jam mengajar ke Dikdas (Pendidikan Dasar) apa bedanya dengan guru SLTA
yang mengajar di Perguruan Tinggi. Prinsipnya adalah sama-sama menjadi abdi
Negara, mencerdaskan anak bangsa. Boleh jadi ini sebuah kegalauan.
Solusi yang ditawarkan
adalah tinjau kembali ketepatan indikator guru professional. Berlakukan
sepenuhnya manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS), hingga bermuara
kepada keprofessional guru yang jelas dan terukur SDM-nya di bawah sistem
kendali inspektorat. Jika KTSP telah ditandatangani kepala sekolah, disahkan
kepala dinas pendidikan kota dan dilegalisasi kepala dinas provinsi, berarti
KTSP itu telah dapat dijadikan payung hukum, termasuk dalam hal menentukan
jumlah jam mengajar guru sesuai kebutuhan sekolah.
Di tengah kegalauan itu, organisasi PGRI patut ambil bagian. Bukankah di dalam AD/ART PGRI ada kewajiban dan hak anggotanya. Orang yang baik adalah orang yang mau melaksanakan kewajibannya dan mendapatkan haknya. Orang yang melaksanakan kewajiban saja, tetapi tidak mendapatkan haknya itulah orang yang tertindas.
0 Response to "Sertifikasi Guru antara Mutu dan Kegalauan "
Posting Komentar